"Dr, sometimes I feel life is unfair. You know, I did try very hard to understand each term and analogy used in your subject just to score and pass this subject with a good grade. But at last, I just manage to get this mark," luah saya kepada salah seorang pensyarah pada suatu hari.
"You know, it is forbidden to talk about takdir in our life. Academic's subject is not a deen. It's not the end of life," jawab pensyarah saya, ringkas, tapi penuh makna.
Saya percaya, bukan hanya saya yang pernah menghadapi situasi seperti ini. Berusaha sepenuh hati, menggunakan seluruh sumber yang ada demi mendapatkan gred dan markah yang baik dalam suatu ujian atau peperiksaan. Dan saya yakin, itu adalah usaha yang murni. Tidak semua orang mempunyai kerajinan untuk berusaha, melainkan mereka punyai kesedaran akan pentingnya usaha. Namun, TAK SEMUA yang berusaha itu mampu untuk bertawakal. Usaha yang dilakukan seringkali diiringi dengan harapan untuk mendapat balasan yang terbaik, termasuk juga saya.
Pernah suatu ketika, saya menangis, terduduk, dan hati tidak henti-henti menyalahi takdir. Penat saya berusaha, penat saya belajar. Tapi, kesudahannya? Seolah-olah lebih baik andai tidak pernah belajar langsung. Selesai saja peperiksaan, terus menghubungi ibu bapa yang ketika itu sedang menunaikan tawaf di kaabah. Teman yang berada di sisi tidak mampu lagi untuk menyabarkan saya dengan esak tangis yang tidak ubah seperti seorang kanak-kanak hilang arah. Langsung saya tidak pedulikan segala kata-kata semangat yang mereka berikan. Yang saya tahu, saya sedang takut yang sangat, andai ditakdirkan gagal untuk subjek tersebut, dan mungkin saat itu, perkara itu lebih saya takutkan berbanding besarnya dosa-dosa yang telah saya lakukan sepanjang berada di muka bumi Allah ini. Astaghfirullah hal azim!
Tetapi benarlah firman Allah dalam surah Luqman ayat 31, Allah akan membalas segala perbuatan biar sebesar biji sawi, dan sesungguhnya Allah Maha Halus. Biarpun tidak mendapat gred yang boleh dikategorikan sebagai cemerlang, tetapi keputusan akhir untuk subjek tersebut ternyata sangat jauh dari jangkauan sebenar. Sungguh, Allah Maha Besar. Takkan pernah mendustai hamba-hambaNya. Andai saja saya menurut kata hati yang sedang down sebaik saja selesai menduduki peperiksaan bagi subjek tersebut, mampu sahaja saya memilih untuk terus berlari dan melangkah jauh dari Illahi. Nauzubillah~
Apabila saya merenung saat-saat ini, dan apabila saya bermuhasabah dan mengaitkan keadaan itu dengan perasaan yang melanda diri saya sekarang, ternyata, untuk mendapatkan biar setitik keikhlasan dalam segala perbuatan yang dilakukan itu bukan mudah. Cukup sukar dan teramat payah! Terlalu sukar untuk mentarbiyah dan mendidik hati agar belajarlah seikhlasnya bukan untuk mendapat keputusan cemerlang semata-mata, tetapi paling utama adalah untuk menggapai redha-Nya. Belajar dan terus belajar demi mengiktiraf dan mengagumi lagi akan keagungan-Nya. Bukan mudah. Dan tersangat sukar.
Semoga hati ini terus diberikan kekuatan, sentiasa disinari dengan peringatan agar mampu mengikhlaskan diri dan hati dalam setiap perbuatan. Teringat kata-kata seorang sister yang sedang intern di KLCC sekarang...
Err... Ikhlas itu bordernya sangat nipis..
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya."
[4:125]
~berdoa dan terus mengharapkan redha Illahi...~
No comments:
Post a Comment